Si Raja Tanduk dari Papua
Tuesday, March 20th, 2007
by Destario Metusala

Picture created by Nik Fahmi 2007 : Vortex’s Orchids
(http://zanaf. dyndns.biz)

Picture created by Nik Fahmi 2007 : Vortex’s Orchids
(http://zanaf. dyndns.biz)
Begitulah sebutan bagi anggrek yang memiliki nama latin
Dendrobium sutiknoi P.O’bryne. Anggrek ini
dideskripsikan dan dipublikasikan untuk pertama kali
pada Mei 2005 di Jurnal fur den Orchideenfreund. Nama
sutikno ini sendiri diambil dari nama seorang hobiis dan
pedagang anggrek di Tretes, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur
yang kemudian dideskripsikan untuk pertama kali oleh Mr.
Peter O’bryne di Singapura. Sejarahnya, ternyata anggrek
ini ditemukan secara tidak sengaja oleh beliau di antara
batang-batang D. lasianthera, namun tiba saat
berbunga tampaklah perbedaan tersebut. Oleh karena
karakter bunganya yang unik maka beliau yakin bahwa
anggrek ini berpotensi menjadi species baru.
Species
ini berasal dari Papua dan Kepulauan Morotai
(Indonesia). Sejauh ini telah ditemukan dua varian warna,
yaitu oranye tembaga dan hijau kekuningan. Sosok
tanamannya mirip dengan anggrek-anggrek section
Spatulata lainnya. Batangnya cukup tinggi mencapai 1-1,5
meter. Bentuk daunnya elips agak bulat telur, semakin
kearah ujung atas ukuran daunnya semakin mengecil.
Karakter unik dari anggrek ini adalah petal nya yang
sangat panjang (mirip petal D.stratiotes) serta
bentuk ujung labellumnya yang sempit dan melengkung dan
hampir menyerupai labellum Dendrobium tobaense.
Kelebihan anggrek section Spatulata ini adalah sifat
dominan nya yang sangat kuat pada hybrid-hybrid
keturunannya. Tidak seperti pada D.tobaense yang
bentuk labellumnya bersifat resesif sehingga akan mudah
terdegradasi oleh hybridisasi.
Saat
ini, hybrid-hybrid maupun hasil selfing dari
D.sutiknoi telah banyak beredar di pasaran anggrek
di Asia tenggara. Namun menurut informasi dari seorang
rekan hobiis senior dari Malaysia, setelah sekian lama
D.sutiknoi dimanfaatkan sebagai parent/induk
silangan, ternyata anggrek ini kurang begitu diminati
oleh para penyilang sebagai parent karena sifatnya
genetiknya yang sangat dominan, sehingga selalu
mengalahkan karakter dari induknya yang lain, akibatnya
hybrid yang terbentuk juga terlalu condong ke arah
karakteristik D.sutiknoi. Namun hal ini tidak
begitu dipersoalkan oleh para penggemar dan konsumen
anggrek hybrid, sehingga tidak mengurangi minat para
penggemar anggrek pada umumnya untuk tetap mengkoleksi
hybrid-hybrid turunan D.sutiknoi, karena tetap
saja hybridnya cantik dan unik dipandang. Di Indonesia
sendiri, anggrek ini maupun hybridnya belum begitu
tersosialisasi secara luas, sehingga tak heran bila
harganya melambung sangat tinggi.
Meskipun demikian, anggrek ini merupakan harta genetis
yang tak ternilai. Sehingga langkah-langkah serius untuk
menjaga kelestarian genetisnya perlu segera dilakukan. |